CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 06 November 2009

Renung, Berkabung

Terang gelap roda hidup
Seribu kendi abu terlentang menganga
Sejuta meter kubik air asin menenggelamkan jerit penerima guncang
Gejolak perut bumi
Gempuran penghuni tanah
Merebut paksa rona gembira
Menabuh gendang tangis yang sepi teredam angin bencana
Bangsa berduka...
Tasik, Padang, Banten menanggung derita ulah manusia
Lalai telah terjawab tiba-tiba
Congkak dan acuh terbalas seketika
Alam coba ingatkan bahwa Tuhan tahu, tapi menunggu...
Lantas apa yang manusia perbuat kemudian?
Mereka tutup kuping
Daun berlubang itu telah bebal oleh daki-daki duniawi
Habis menimpa nestapa
Barulah mereka berucap Tuhan
Kenalkah kalian kepada-Nya sebelum ini?

Minggu, 01 November 2009

DI LADANG TEBU (part 2)

"Sudahlah. Tak usah kau pikirkan. Wajahmu sama sekali tak menakutkan. Bahkan, kau tak memiliki sirip duri seperti yang kumiliki," kata Sybil pada suatu hari.
Nana sudah menceritakan tragedi kematian buaya di ladang tebu. Sejak ia tahu bahwa ia adalah anak seekor katak yang merupakan hewan pembunuh hewan lain, semangatnya mulai menurun. Profesor dan Sandra tak lagi penting baginya. Sybil yang telah mendedikasikan dirinya sendiri sebagai sahabat Nana lah yang selalu menghiburnya. Hubungan antara keduanya memang semakin dekat akhir-akhir ini.
"Ah... Sudahlah Sybil. Kata-katamu tak akan pernah membantu. Lebih baik kau pergi sebelum terbunuh seperti buaya-buaya itu!" usir Nana.
Sybil hanya diam. Bukan karena tak dengar atau tak mengerti, tapi karena ia melihat sesuatu. Matanya memelototi satu bagian tubuh Nana. Mulutnya terbuka, sampai-sampai lupa menutup.
"Na!Kau punya kaki!" teriaknya tiba-tiba. Lalu ia mengitari Nana untuk memastikan. "Yeah! Sepasang kaki belakang! Pantas saja beberapa hari ini kau bersikap aneh. Ternyata memang karena hendak tumbuh kaki. Haha... Keren!" celetuk Sybil setengah berteriak, sehingga membuat penghuni laboratorium kaget.
Kali ini Nana tak bisa lagi menghindar. Ada satu dorongan dalam tubuhya yang memaksanya tersenyum. Lalu ia berkata, "Dasar kau ikan! Hahaha... Tapi, apa itu mungkin? Aku marah-marah gara-gara mau tumbuh kaki? Coba ada emakku di sini, pasti dia sudah memberitahuku segala hal tentang kaumku."
Sybill tersadar dari kesenangan sesaatnya --merayakan tumbuhnya kaki Nana--, lalu menghampiri sahabat terkasihnya. "Sudahlah, Kawan. Kau tak butuh emakmu lagi. Ada aku dan semua saudaramu di sini. Benar kan teman-teman?" hibur Sybil lalu melirik pada penghuni akuariam lain memastikan apakah warga lain dalam akuarium berpendapat sama dengannya.
Namun, hanya beberapa ekor yang bilang "ya". Sedangkan yang lain menggumamkan kata-kata semacam: "Dasar sinting!"; "O, ya?"; "Aku tak ingat kalau aku bersaudara dengannya," atau "Siapa yang peduli? 'Cuz I don't care!"
"Oh! Jangan pedulikan mereka, Kawan. Kau pasti bisa hidup tanpa emakmu! Mereka hanya makhluk-makhluk berotak udang, bahkan lebih kecil dari otak udang. Hahaha...!" kata Sybil menanggapi keadaan.
"Sybil! Kau pikir otakmu sebesar kelapa? Enak saja kau menghna kami seperti itu!" bentak seekor ikan di belakangnya. Ternyata, tanpa ia sadari, ratusan makhluk air di sekelilingnya sedang memandangnya dengan wajah geram. Dalam hitungan detik seluruh makhluk air telah merubungnya dan mengeropoknya.
Nana hanya diam pasrah menyaksikan. "Rasakan tuh, Bil! Hehe..." batin Nana. Ia sudah hendak membantu Sybil, ketika pintu terbuka yang diikuti masuknya Profesor dan Sandra. Sandra tampak berbeda kali ini. Ia tidak memakai baju safari, sepatu boot hitam juga topi lebar bersimbol pohon seperti bisaanya. Baunya pun harum, tidak lagi amis campuran bau ikan, asap, tanah liat dan keringat. Polisi hutan ini telah berubah menjadi bidadari cantik yang memesona.
"Wah...wah... Penampilanmu tak seperti bisaanya, San? Mau ke mana kau?" tanya profesor kepada Sandra.
"Bisaa ke Bali, Prof. Aku sudah penat berada di hutan Australia sebulan ini. Apalagi dengan semakin banyaknya binatang yang mati. Mereka membuatku stres," jawab Sandra.
"Oh iya! Sekarang aku sudah yakin mengenai katak beracun Cane toad itu. Mereka sangat berbahaya bagi makhluk hidup, tak terkecuali manusia," kata profesor mulai serius.
Sandra kaget. Tas kecil yang ia selempangkan di bahunya melorot hingga ke siku. "Lalu, bagaimana cara kita membunuh mereka agar bukan malah kita yang terbunuh, Prof?" tanya Sandra. Suaranya meninggi. Wajahnya memerah. Suhu di laboratorium serasa naik drastis. Padahal langit Bogor sedang mendung saat itu.
"Seharusnya hal ini sudah kita sadari sejak lama. Toh, katak-katak itu tak bisa melompat setinggi batang tebu untuk menangkap kumbang yang justru sering hinggap di ujung batang. Aku sungguh menyesalkan kelalaianku ini! BETAPA BODOHNYA AKU!" kata Sandra. Kali ini ia tak lupa menggebrak meja kerja profesor. Kertas-kertas berhamburan akibat ulah Sandra. Namun, profesor Keynes sama sekali tidak berusaha mengambilinya. Ia hanya diam tanpa ekspresi.
Sedangkan Nana, ia tak berkedip menyaksikan peristiwa itu. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa Sybil sudah lolos dari lingkaran penghajaran dan sekarang berada di sampingnya dengan tubuh babak belur. Beberapa sisiknya terkelupas. Tampaknya ia tak akan berani berbicara sembarangan lagi.
Sandra masih diliputi amarah. Namun, rona merah di wajahnya berangsur mulai memudar sekarang. Tangannya kembalai santai dan ia membetulkan tas tangannya yang melorot. “Maaf, Profesor!” katanya pelan.
Profesor tak lagi diam saja. Ia malah tersenyum, lalu perlahan tertawa kepada Sandra. Sandra justru bingung melihatnya. Ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, pasti kurang lebih seperti maksudnya.
“Ternyata kau bisa marah juga, San? Hahahaha…” kata profesor.
“Apa maksudmu, Prfof??! Jangan bercanda!” katanya setengah berteriak. Namun, jelas terlukis sesimpul senyum kecil di sudut bibirnya. Ia malu pada profesor, sebab mukanya kembali memerah.
Profesor mengerem tawanya denan susah payah, lalu berkata, “Aku belum selesai bicara, San. Hahaha… katak itu hanya berbahaya bagi manusia jika terjadi kontak fisik saja. Tentu saja tak kan berakibat apa-apa jika kau membunuhnya dengan alat. Dasar, Sandra! Dari dulu kau memang tak berubah.”
Bagai turun hujan di tengah gurun Sahara. Itulah yang melanda Sandra kini. Kemarahan dan penyesalannya seperti terbawa arus sungai Nil dan tak menyisakannya sedikit pun. Ia merangkul profesor seperti merangkul ayahnya sendiri. Lalu ia pun berlari meninggalkan laboratorium dengan gembira tak lupa disertai lambaian tangan untuk profesor.
“Hahaha… dasar Kanguru mungil!” gumam profesor.
Baru beberapa detik, Sandra kembali lagi ke dalam laboratorium. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang tadi terlupa karena saking shocknya.
“Prof, aku titip tas ini di sini. Satu minggu lagi aku akan mengambilnya sepulang dari Bali. Aku akan menghubungi pemerintah Australia mengenai penemuan itu. Oh iya, Prof, apa kau punya usul tentang cara membunuh katak-katak itu?”
Profesor mengacungkan jempol berdiri, Lalu Sandra pergi dengan senyuman.
*****
Mentari pagi mengintip melalui lubang-lubang ventilasi laboratorium dan membagikan sinarnya ke seluruh organisme di dalamnya. Tempat itu menghangat hampir satu jam setiap harinya. Di saat seperti inilah para keluarga kaktus, ercis, aster, kumbang kayu jati, ikan tak terkecuali kecebog dan makhluk hidup lainnya asyik menjemur diri di dalam tempat hidup masing-masing. Laboratorium itu sangat besar dan mungkin lebih terlihat seperti taman wisata modern mini di dalam gedung.
Di setiap jengkal hamparan lantainya pasti terdapat organisme hidup yang terawat dengan baik. Pada sudut kanan ruangan, terdapat sekumpulan akuarium berbagai ukuran untuk berbagai hewan air tawar. Di sanalah Nana dan Sybil berada.
“Kau tahu Sybil? Setelah aku mendengarkan percakapan demi per-cakapan antara nona Sandra dan professor, aku semakin yakin bahwa tempat asalku adalah dari Aus… Australia yang berada entah di mana. Mereka telah menyebutkan tempat itu sebanyak…. banyak sekali,” kata Nana. Ia tidak bisa menghitung seperti halnya Sybil, kawannya.
“Apa kau yakin? Memang aku tak pernah melihat katak dan anaknya. Dan kata emakku, memang baru sekali ini profesor memelihara kecebong di laboratorium ini. Namun, bagaimana kalau ternyata pendapatmu salah?” jawab Sybil ada sedikit rasa cemas dalam nada suaranya. Sybil memang sudah sangat bosan menasehati Nana mengenai perkara ini.
“Kawan, do’akanlah aku. Aku akan ke Australia, bagaimanapun caranya,” katanya dengan wajah penuh semangat dan mata berapi-api.
“Ya…ya…ya… terserah kau saja lah, Na! Do’aku merestuimu!”
*****
“Halo! Sandra? Ini aku, Profesor Keynes. Aku sudah menemukan waktu pemberantasan Cane toad yang tepat. Sebentar lagi bulan mati, di malam-malam seperti inilah mereka membentuk semacam kumpulan katak jantan dan katak betina untuk kawin. Kurang lebih lima hari lagi. Maka, lusa pulanglah ke Bogor untuk mempersiakan segala hal! Oh iya, satu lagi, dibutuhkan banyak orang untuk melakukannya. Jumlah mereka ribuan!” kata profesor kepada Sandra melalu sambungan telepon.
“Lusa? Sempurna! Lusa, aku sudah berubah menjadi seekor katak. Katak jantan yang gagah! Dan aku akan ke Australia menemui emakku. Meski dia pembunuh sekali pun!” kata Nana pada Sybil. Sybil hanya bisa menggelengkan kepala. Ia benar-benar sudah pasrah, meski sebenarnya dia ingin sekali mencegah Nana demi keselamatan diri Nana sendiri.
*****
Subuh hari, Nana sudah bersiap melakukakan rencana ekspedisi pencarian emaknya. Ia benar-benar sudah berubah menjadi katak kecil --yang oleh Abdul dipanggil “Percil”—berwarna hijau lumut dengan garis hitam. Nana berpamitan kepada seluruh kawan sejawatnya selama hidup di laboratorium dan ia tak lagi bisa menahan air matanya saat harus berpisah dari Sybil. ‘Namun, mau tak mau ia telah memilih takdir hidupnya’ begitulah yang diucapkan emak Sybil kapada Sybil, sehingga membuat Sybil tegar melepas Nana.
Sandra sudah sampai di laboratorium. Lalu, dengan cekatan Nana melompat keluar akuarium. Setelah berhasil, ia langsung melompat menuju tas ransel Sandra yang dititipkannya kepada profesor semingu lalu sebelum berangkat ke Bali. Ia menyelinap ke dalam kantong paling luar yang biasanya digunakan sebagai tempat botol minum dan akan terus bersembunyi di sana hingga sampai di Australia.
“Hai, Prof! Di mana tas titipanku?” tanya Sandra.
“Oh iya, ambil saja di situ,” jawab profesor sambil menunjuk sebuah rak barang. Sandra segera mengambilnya lalu menggendongnya di punggung. ‘Wah! Hangat’ batin Nana. Saking hangtnya suhu dalam tas itu, membuat Nana mengantuk lalu tertidur dalam beberapa menit.
“Prof, bagaimana rencananya?” tanya Sandra lagi.
“Jadi begini. Adakanlah suatu festival perburuan katak beracun di ladang tebu. Ah namanya…. “Toad Day Out”. Cool bukan? Lalu, sediakan imbalan yang menggiurkan bagi mereka yang berhasil menangkap katak terbanyak dan terberat, baik hidup maupun mati. Sehingga akan banyak orang yang tertarik mengikuti perburuan ini. Jangan lupa ingatkan mereka agar tidak menyentuh bagian tubuh katak tersebut sedikit pun! Apa kau paham?” jelas profesor.
“Rencana brilian! Tentu aku paham, Prof! Kalau begitu aku pergi dulu. Dua malam lagi, ladang dan hutan akan bebas bencana. Thank’s God! Bye, Prof. Tunggulah kabar baik dari kami,” kata Sandra begitu ceria lalu ia pun bergegas pergi menuju bandara untuk segera terbang ke Queensland.
Tanpa Sandra dan Profesor sadari, di dalam air ada makhluk lain yang mengetahui rencana itu. Ia kini sedang manangis sendu, memikirkan nasib sahabatnya yang sedang mendatangi pertempuran mautnya. Ialah Sybil.
*****
“Oh aku sampai di ladang tebu Australia! Luas! Luas sekali! Tidak seperti duniaku di laboratorium. Sempit dan berair! Aku datang, Emak!” teriak Nana sesampainya di ladang.
Ia melompat ke sana ke mari berusaha mencari spesiesnya dengan hati bahagia. Baru satu menit ia mencari, ia sudah bertemu dengan seeokor katak berwarna coklat gelap dan bergaris merah. Ia begitu tampak lucu. Lalu Nana pun bertanya kepadanya, “Hai, kau pasti saudaraku! Apa kau Cane toad? Aku juga! Aku terpisah dari kalian saat aku masih telur.”
Katak itu tampak heran sekali, lalu berkata, “Apa kau bercanda, Nak? Kau hanya seekor katak sawah! Kau berbeda dengan kami! Pulang sana ke Ibumu!”
*****
Serbuan para manusia ladang itu benar-benar dahsyat. Satu per satu katak dilibas, dihantam dan ditebas dengan senjata mereka. Dalam waktu sebentar mereka sudah mengisi kantung-kantung dengan bangkai-bangakai katak beracun. Ladang tebu adalah saksi bisu pertempuran ratusan ribu katak melawan ratusan manusia pemburu.
Nana berada di waktu dan tempat yang benar-benar tidak tepat. Sebuah bumerang mendarat di kepalanya dan membuatnya tersungkur. Malam terang berhias bintang kerlap dan bulan malam ke-13 perlahan berputar, lalumakin gelap, sangat gelap dan “pett!!!”


FIN

Minggu, 18 Oktober 2009

5 Tips agar Menulis jadi Mudah


Seringkali dari kita bila sedang membuat suatu tulisan, apakah itu bersifat ilmiah ataupun juga non ilmiah, beban perasaaan yang membelenggu dari beberapa faktor seperti rasa takut yang berlebihan terhadap tulisan kita sendiri, biasanya yang paling umum rasa tidak percaya diri akan ‘kebenaran’ dan ‘kekuatan’ dari apa yang kita tulis. Hal itu sangat wajar terjadi, apalagi sebagian dari kita memang bukan berasal dari latar belakang penulis atau jurnalis. Tapi satu hal yang perlu diingat adalah, menulis merupakan ketrampilan dasar yang bahkan seorang anak sekolah dasar pun mampu melakukannya. Rasa beban tersebut terjadi justru saat kita sudah punya banyak pengalaman dan pengetahuan, karena disitulah sumber utama masalahnya. Semakin pintar diri kita pasti berbanding lurus dengan semakin banyakanya analisa dan logika yang dominan di kepala kita.

Beda dengan orang yang punya sedikit pemikiran, kemungkinan besar ia akan bisa menulis dengan beban yang ringan karena yang banyak berperan adalah sisi kreatifnya di otak kanan yang tidak terlalu peduli dengan analisa logika otak kiri. Beberapa tips yang mungkin bisa kita terapkan untuk mendobrak belenggu dalam semangat menulis antara lain :

1. Menulis adalah Kesenangan, bukan hanya games atau nonton bioskop saja yang bisa bikin kita senang, imajinasikan saat jemari kita menulis saat itulah sebenarnya kita sedang ‘bermain’ dengan kata-kata terangkai. Tidak perlu khawatir bahkan bila kosa kata kita agak berantakan, yang penting
setiap huruf mengalir begitu saja sesuai dengan perasaan yang kita ciptakan tadi, menulis adalah kesenangan.

2. Menulis adalah Berbicara, ini agak aneh memang, tapi saat kita menulis coba khayalkanlah bahwa kita ’sebenarnya’ ini sedang ngobrol dengan teman-teman kita. Saat imajinasi itu terjadi, saat itu pula kata - kata akan meluncur dengan deras layaknya sedang berbicara dengan teman-teman. Jarang sekali kita terlalu banyak berpikir sebelum berucap saat sedang ngobrol. Semuanya berlangsung spontan dan lugas.

3. Menulis berarti Berbagi, seperti halnya amal, setiap tulisan karya kita, sedikit banyak pasti dan harusnya bermanfaat untuk orang lain. Itulah sebenarnya kunci utama dalam kegiatan menulis. Kita membuat tulisan dan orang lain membacanya. Ada hubungan tidak langsung antara apa yang kita berikan dalam bentuk tulisan dengan kemajuan atau kesuksesan orang yang membacanya. Tidak selalu harus uang untuk beramal, tulisan juga bisa kok.

4. Menulis berarti Membebaskan, dalam tulisan fiksi berupa cerpen atau novel, kita mendapat kesempatan yang sangat luas dalam berekspresi. Seorang penulis fiksi bebas berimajinasi terhadap keadaan, sang tokoh, alur cerita dll. Dalam kata lain, saat Anda menulis cerita, Anda adalah ’sang pencipta’. Ekspresikan diri kita sepuasnya karena ranah ini benar- benar milik kita.

5. Menulis berarti Hidup, mirip sebuah iklan rokok, “bikin hidup lebih hidup”, mungkin seperti itulah perumpamaannya. Saat kita melakukan kegiatan tulis menulis saat itu pula kita seakan digiring ke sebuah fenomena aktualisasi diri. Menulis berarti menghidupkan jiwa kita dalam bentuk karya tulis. Menulis tidak hanya sekedar kegiatan layaknya makan minum, tapi lebih bermakna dalam, utamanya seperti bernafas, sudah menjadi bagian diri kita. Menulis adalah kehidupan kita.

Saat saya menulis posting ini, sebenarnya sudah dalam keadaan ngantuk berat, hehehe maklum sudah tengah malam. Tapi itu tidak sedikitpun menyurutkan semangat saya untuk mengupdate Blog ini. Sesuai dengan 5 Tips tadi, benar-benar saya terapkan saat saya sedang menulis postingan ini. Hasilnya adalah postingan ini bisa selesai ( sambil kepala naik turun ‘meladeni’ kantuk). Jadi jaga terus semangat Anda untuk tetap menulis karena ini mungkin salah satu jembatan kita untuk saling mengenal dan berteman. Menulis sebanyak mungkin dan saling memberi semangat ! Ada yang ingin menambahkan ? Silahkan.

Kamis, 06 Agustus 2009

DI LADANG TEBU (part 1)

Di Ladang Tebu
Karya Anifatun Mu’asyaroh

Musim gugur hampir berlalu. Angin musim dingin mulai bertiup menggelitik bulu kuduk dan hamparan ilalang di ladang tebu. Dari kejauhan terdengar suara ratusan langkah kaki yang makin lama makin mendekat, menggemparkan kediaman para makhluk pelompat yang sedang nyaman mendengkur di bawah terpaan cahaya bulan malam ke-13 di sana.
Perlahan tapi pasti, satu per satu dari mereka terjaga lalu berteriak seenaknya, "Wibik...wibik..." Sekarang, suara langkah kaki telah digantikan oleh riuhnya konser yang dimeriahkan musisi-musisi amfibi, membawakan theme song andalan mereka, "Wibik...wibik..." Mereka berlompatan ke sana ke mari, padahal tak ada yang mendekati. Mungkin insting mereka jauh lebih peka dari perkiraan para manusia ladang.
Sementara itu, sekitar dua puluh meter dari ladang tebu tempat para katak itu bisaa beraktivitas dan istirahat, ratusan pasang mata manusia mengintai mereka. Beberapa menit lagi, perburuan hewan amfibi ini resmi dibuka. Pesertanya tak lain tak bukan adalah ratusan pengintai ladang tadi. Berbagai senjata seperti cangkul, pisau, sapu jerami, hingga samurai telah mereka genggami. Bumerang kecil pun tak luput dijadikan benda pamungkas. Tatapan mereka --yang kebanyakan adalah petani-- tajam, teliti dan terpusat pada ladang tebu.
Kini hanya tinggal menunggu tanda, dan mereka telah siap melakukan penyerangan dan mengayunkan benda-benda di genggamannya seasyik bermain yoyo. “Priiiit...” Lalu seluruh manusia bersenjata berhamburan ke ladang melancarkan aksi.
*****
Dahinya berkerut, sehingga dapat menahan sebulir keringat yang meluncur lincah dari kepala botaknya. Meski keringat bercucuran, tapi Profesor Keynes tetap kekeuh menempelkan matanya pada lensa okuler mikroskop elektron. Objek pengamatannya adalah gumpalan kecil berinti hitam dan diselimuti lendir bening yang telah ia jadikan preparat. Entah spesies apa yang sedang ia teliti. Namun, yang pasti ini adalah suatu proyek besar sebagai bentuk sumbangannya bagi khazanah ilmu pengetahuan.
Sementara sang profesor asyik bekerja, di ruangan yang sama, ada sesuatu yang mengawasi setiap inci gerakan profesor di setiap detiknya. Jika profesor mengerutkan dahi, ia pun akan semakin serius mengamati. Jika profesor tertawa, ia ikut menari berputar di dalam kotak akuariumnya. Ia adalah seekor kecebong berumur tiga hari.
Sepanjang 3 hari hidupnya ia tak pernah melihat danau, sawah, rawa, got atau tempat-tempat semacam itu yang bisaanya merupakan tempat lahir, tanah air para kaumnya. Kecebong ini lahir dan tumbuh di akuarium profesor Keynes bersama sekitar seratus ekor saudaranya. Bahkan, ia tak punya nama. Menamai mereka satu per satu bukanlah ide bagus. Apalagi profesor sendiri sedang sibuk meneliti seluk beluk leluhur kecebong itu. Alhasil, ia pun menamai dirinya sendiri "Nana", sebab ia suka bersenandung dalam air. Satu-satunya hobi Nana adalah memperhatikan profesor. Hobi yang oleh saudara-saudaranya dianggap aneh dan membuang-buang waktu.
Di film-film kartun, anak burung yang baru menetas akan menganggap sosok pertama yang dilihatnya sebagai induknya, meskipun sosok itu adalah seekor kucing. Tampaknya, hal ini pula yang terjadi di pada Nana. Ia begitu menyayangi profesor yang sering berada di dekatnya.
Suatu hari, bertepatan dengan lima hari umur Nana, seorang wanita asing datang ke laboratorium. Dia memakai baju safari coklat, bertopi lebar dan tampaknya datang dari tempat jauh. Kedatanganya adalah untuk mendiskusikan satu hal serius dengan profesor. Namanya Sandra.
"Bagaimana perkembangan penelitianmu, Prof?" tanya Sandra kepada profesor yang sedang menulis suatu kajian ilmiah. Profesor berhenti menulis. Dibetulkannya letak kacamata perseginya yang melorot. Lalu ia menghirup nafas panjang, menahannya beberapa detik sebelum kemudian ia hembuskan.
Hening sejenak dan akhirnya ia pun menjawab sambil membelai dagunya yang tak berjenggot, "Hmm... Sandra, setelah kuteliti lebih lanjut, kematian buaya-buaya di rawa itu disebabkan oleh Cane toad."
Sandra diam. Wajahnya tampak serius berpikir, "Begitu? Tapi, bagaimana mungkin? Mereka sangat membantu para petani. Sejak tahun 1935, mereka sengaja diimpor dari benua Amerika untuk membasmi hama kumbang yang menyerang tanaman tebu di Queensland. Kini mereka telah beranak pinak di seantero Australia. Bagaimana mungkin mereka bisa membunuh para buaya-buaya itu?"
Di dalam akuarium, Nana mendengarkan percakapan itu dengan seksama. ‘Apa itu Cane toad? Queensland? Amerika? Nama-nama apa itu?’ Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepala Nana. Ia pun semakin antusias memperhatikan dua makhluk besar yang tidak hidup di air itu.
"Sandra. Katak-katak ini mempunyai sistem pertahanan diri yang kompleks. Satu bulan penelitianku terhadap Cane toad, ternyata membuahkan fakta baru. Mereka berbeda dengan katak-katak jenis lain, sebab ada semacam kantung beracun yang tersembunyi di balik kaki depannya. Zat-zat mematikan yang kutemukan dalam sampel buaya itu sama dengan racun yang ada di dalam kantung katak itu," je-
las profesor panjang lebar.
Kenyataan itu membuat Sandra tercengang. Tampaknya ia tak menyangka bahwa katak-katak yang panjangnya bisa mencapai 20 cm itu adalah kunci penyebab ketidakstabilan ekosistem di sekitar hutan dan ladang tebu. Perlahan-lahan ia mulai bicara lagi, "Saya mengerti, Prof. Populasinya yang begitu pesat satu dekade terakhir, bahkan hingga ke daerah rawa di hutan, memang cukup membuat saya bertanya-tanya. Apakah tak ada predator yang mau menyantap katak-katak itu? Ternyata mereka mati sebelum berhasil memangsanya. Lalu, Prof, apa mereka berbahaya bagi manusia?"
Si kecebong masih serius memperhatikan mereka. Meskipun ia mendengarkan tiap kalimat percakapan itu, tapi tak sedikit pun ia memahami maknanya. Kapasitas memori pikirannya kecil, sekecil tubuhnya.
*****
Esoknya, Nana berharap agar Sandra datang lagi dan mengatakan hal-hal lain yang lebih mudah untuk dipahami olehnya. Ia menyukai Sandra sejak awal melihatnya. Sandra adalah orang pertama yang menyapanya --menyapa mereka tepatnya-- dengan mengobok-obok akuarium. Padahal, saat itu Sandra hanya berniat merendam kelingkingnya yang sedikit melepuh karena tercelup ke dalam secangkir kopi panas.
Ckrrk... Pintu terbuka, lalu melangkah seorang anak laki-laki kecil memakai seragam TK. Anak kecil itu mengendap-endap lirih di dalam laboratorium. Ia berhenti tiba-tiba di depan akuarium lalu berteriak, "Mak... Emak! Ada ikan kecil-kecil belenang, Mak! Banyak! Ada sejuta! Di sini mak!" Suaranya yang cempreng mengagetkan Nana dan membuat gaduh seisi rumah.
"Wah, suara itu menggetarkan dunia!" kata Nana kepada seekor ikan koi bersirip kuning yang berada di dekatnya. Akuarium adalah dunia baginya.
"Iya. Aku takut suaranya menimbulkan polusi di dunia kita," jawab ikan mas itu.
"Apa itu polusi?" tanya Nana dengan penuh penasaran.
Si ikan tampak bingung saat ditanya balik, lalu dia pun menjawab, "Hmm... Profesor berkata seperti itu 7 hari yang lalu saat memandang kotak kaca itu." Mata bulatnya melotot ke arah televisi.
"Aku hanya mengutip kata-katanya. Hehe..." imbuh si ikan.
"Tujuh hari lalu? Umurku saja baru enam hari. Kalau begitu kau lebih tua dariku. Berapa umurmu?"
Si ikan berenang berputar di tempat sebanyak tiga kali yang menandakan ia sedang berpikir. Lalu ia menjawab, "Aha... biar kutanyakan pada emakku."
"Emak? Apa itu emak? Manusia kecil itu juga menyebutkan emak tadi," tanya Nana membabi buta.
"Emak itu orang yang lebih tua darimu. Dia tahu segala hal yang tak kau ketahui," jawab si ikan.
"Kalau begitu kau emakku?"
"Aku? Entahlah. Sepertinya tampang kita berdua berbeda. Kau
begitu hitam legam dan mulus. Sedangkan aku, indah, berkilau tapi bersisik. Ah... sudahlah biar kutanya emakku yang ada di dunia seberang!" jawab ikan.
Lalu ia meninggalkan Nana menuju sebuah akuarium lebih besar yang berada di samping akuarium mereka. Nana terus mengawasinya hingga si ikan sampai di perbatasan "dunia" dan bertatap muka dengan seekor ikan mas koi super besar. Si ikan menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan ikan besar itu. Tak lama kemudian, si ikan koi kecil bersirip kuning pun berbalik dan menemui Nana.
"Sudah kudapatkan jawaban. Kata emakku, aku menetas saat bulan bulat sempurna dan nanti malam adalah bulan bulat sempurna keduaku. Jadi umurku adalah satu bulan. Hahaha!"
"Oh... Lalu kau siapa?" tanya Nana.
"Aku? Namaku Sybil kau Nana bukan? Dan satu lagi, aku bukanlah emakmu. Kata emakku, emakmu adalah orang yang melahirkanmu. Eit... Jangan bertanya soal emakmu lagi padaku!" kata ikan itu yang ternyata bernama Sybil seolah-olah bisa membaca pikiran Nana.
"Oh...Baiklah, Sybil. Lalu, mengapa emakmu ada di dunia yang lain?"
"Entahlah. Profesor memisahkan kami sesaat setelah aku menetas."
"Lalu..." kata-kata Nana terhenti setelah terdengar suara berisik menuju laboratorium. Pintu terbuka, lalu muncul profesor dan seorang manusia bertutup kepala panjang hingga terjuntai menutupi dada.
"Aduh... Elu ya, Dul! Udah emak bilangin ratusan kali tetep aje nakal! Jangan masuk ruangan Mister Propesor! Bagimane kalo ntu barang-barang pade pecah? Pan bisa berabe ntu urusanye! Maapin, anak aye yah, Mister!" kata manusia bertutup kepala itu sambil menaboki anaknya dengan lembut.
"Hahaha... Tidak apa-apa. Saya suka dengan anak kecil yang rasa ingin tahunya besar. Apalagi setiap melihat Abdul, saya jadi ingat anak saya" kata Profesor Keynes.
"Terime kasih, Mister. Mister kagak marah same ni Bedul yang ban-
del. Oh iye, aye do'ain semoge Mister bisa cepet ketemu anaknye di Australie. Amin... Ya udeh, kami ke dapur dulu, Mister, mau masak makan siang. Ayo, Dul!"
"Mpok, bagaimana kalau Abdul di sini saja dulu?" pinta profesor.
"Kagak ape-ape nih? Ntar kalo ganggu Mister bagimana?"
"Kagak ape-ape, Mpok! Haha..." jawab Profesor menirukan logat Mpok Ijah.
"Ah! Mister bise-bise aje! Ya udeh, aye turun. Permisi!"
Mpok Ijah keluar dari laboratorium. Pintu tertutup. Profesor mendekati Abdul, lalu berkata, "Dul, binatang ini namanya kecebong atau berudu, bukan ikan."
Abdul tampak mengerti, lalu ia bertanya, "Meleka saudalanya ikan, ya, Mistel?"
"Hahaha... No, son! Mereka adalah anak-anak katak. Kau tahu katak bukan?"
"Waaah... Kelen! Kok meleka tidak punya kaki?"
"Tentu saja mereka punya. Hanya saja belum tumbuh. Suatu saat nanti mereka akan bermetamorfosis menjadi katak dan hidup di darat. Kau mengerti, Nak?" tanya profesor.
Abdul mengangguk pelan. Tak jelas apakah ia mengerti atau tidak, tetapi yang pasti Nana lah yang sedang bergembira saat ini. Ia tahu siapa dirinya sekarang. Ia tahu leluhurnya. Ia adalah Putra sang Katak!
"Kau tahu Sybil? Aku adalah Putra Katak! Seperti apa katak itu, Sybil?" tanyanya. Belum sempat dijawab, dia sudah berkata lagi, "Eh... Katak? Hah?? Katak? Aku..." tiba-tiba ia berhenti bicara. Kegembiraannya meluntur seiring semakin pelan suaranya.
"Ada apa, Na?" tanya Sybil tampak heran.
"Aku anak seorang pembunuh!

(bersambung)

Sabtu, 07 Maret 2009

Anonim

Buku yang paling bermanfaat adalah buku yang paling membuat kamu berpikir (Theodore Parker)
.
Orang yang bijaksana mempelajari banyak hal dari musuhnya (Aristophanes)
.
Orang yang di usia mudanya mengabaikan pelajaran berarti kehilangan masa lalunya dan mati untuk masa tuanya (Euripides)
.
Takut bertanya bearti malu belajar (peribahasa Denmark)
.
Guru yang biasa-biasa saja,mengajar dengan memberitahu. Guru yang baik,mengajar dengan menjelaskan. Guru yang unggul,mengajar dengan memberi contoh. Guru yang besar,mengajar dengan memberi inspirasi (William Arthur Ward)
.
Orang yang berani mengajar tidak boleh berhenti belajar (Richard Henry Dann)
.