CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 06 Agustus 2009

DI LADANG TEBU (part 1)

Di Ladang Tebu
Karya Anifatun Mu’asyaroh

Musim gugur hampir berlalu. Angin musim dingin mulai bertiup menggelitik bulu kuduk dan hamparan ilalang di ladang tebu. Dari kejauhan terdengar suara ratusan langkah kaki yang makin lama makin mendekat, menggemparkan kediaman para makhluk pelompat yang sedang nyaman mendengkur di bawah terpaan cahaya bulan malam ke-13 di sana.
Perlahan tapi pasti, satu per satu dari mereka terjaga lalu berteriak seenaknya, "Wibik...wibik..." Sekarang, suara langkah kaki telah digantikan oleh riuhnya konser yang dimeriahkan musisi-musisi amfibi, membawakan theme song andalan mereka, "Wibik...wibik..." Mereka berlompatan ke sana ke mari, padahal tak ada yang mendekati. Mungkin insting mereka jauh lebih peka dari perkiraan para manusia ladang.
Sementara itu, sekitar dua puluh meter dari ladang tebu tempat para katak itu bisaa beraktivitas dan istirahat, ratusan pasang mata manusia mengintai mereka. Beberapa menit lagi, perburuan hewan amfibi ini resmi dibuka. Pesertanya tak lain tak bukan adalah ratusan pengintai ladang tadi. Berbagai senjata seperti cangkul, pisau, sapu jerami, hingga samurai telah mereka genggami. Bumerang kecil pun tak luput dijadikan benda pamungkas. Tatapan mereka --yang kebanyakan adalah petani-- tajam, teliti dan terpusat pada ladang tebu.
Kini hanya tinggal menunggu tanda, dan mereka telah siap melakukan penyerangan dan mengayunkan benda-benda di genggamannya seasyik bermain yoyo. “Priiiit...” Lalu seluruh manusia bersenjata berhamburan ke ladang melancarkan aksi.
*****
Dahinya berkerut, sehingga dapat menahan sebulir keringat yang meluncur lincah dari kepala botaknya. Meski keringat bercucuran, tapi Profesor Keynes tetap kekeuh menempelkan matanya pada lensa okuler mikroskop elektron. Objek pengamatannya adalah gumpalan kecil berinti hitam dan diselimuti lendir bening yang telah ia jadikan preparat. Entah spesies apa yang sedang ia teliti. Namun, yang pasti ini adalah suatu proyek besar sebagai bentuk sumbangannya bagi khazanah ilmu pengetahuan.
Sementara sang profesor asyik bekerja, di ruangan yang sama, ada sesuatu yang mengawasi setiap inci gerakan profesor di setiap detiknya. Jika profesor mengerutkan dahi, ia pun akan semakin serius mengamati. Jika profesor tertawa, ia ikut menari berputar di dalam kotak akuariumnya. Ia adalah seekor kecebong berumur tiga hari.
Sepanjang 3 hari hidupnya ia tak pernah melihat danau, sawah, rawa, got atau tempat-tempat semacam itu yang bisaanya merupakan tempat lahir, tanah air para kaumnya. Kecebong ini lahir dan tumbuh di akuarium profesor Keynes bersama sekitar seratus ekor saudaranya. Bahkan, ia tak punya nama. Menamai mereka satu per satu bukanlah ide bagus. Apalagi profesor sendiri sedang sibuk meneliti seluk beluk leluhur kecebong itu. Alhasil, ia pun menamai dirinya sendiri "Nana", sebab ia suka bersenandung dalam air. Satu-satunya hobi Nana adalah memperhatikan profesor. Hobi yang oleh saudara-saudaranya dianggap aneh dan membuang-buang waktu.
Di film-film kartun, anak burung yang baru menetas akan menganggap sosok pertama yang dilihatnya sebagai induknya, meskipun sosok itu adalah seekor kucing. Tampaknya, hal ini pula yang terjadi di pada Nana. Ia begitu menyayangi profesor yang sering berada di dekatnya.
Suatu hari, bertepatan dengan lima hari umur Nana, seorang wanita asing datang ke laboratorium. Dia memakai baju safari coklat, bertopi lebar dan tampaknya datang dari tempat jauh. Kedatanganya adalah untuk mendiskusikan satu hal serius dengan profesor. Namanya Sandra.
"Bagaimana perkembangan penelitianmu, Prof?" tanya Sandra kepada profesor yang sedang menulis suatu kajian ilmiah. Profesor berhenti menulis. Dibetulkannya letak kacamata perseginya yang melorot. Lalu ia menghirup nafas panjang, menahannya beberapa detik sebelum kemudian ia hembuskan.
Hening sejenak dan akhirnya ia pun menjawab sambil membelai dagunya yang tak berjenggot, "Hmm... Sandra, setelah kuteliti lebih lanjut, kematian buaya-buaya di rawa itu disebabkan oleh Cane toad."
Sandra diam. Wajahnya tampak serius berpikir, "Begitu? Tapi, bagaimana mungkin? Mereka sangat membantu para petani. Sejak tahun 1935, mereka sengaja diimpor dari benua Amerika untuk membasmi hama kumbang yang menyerang tanaman tebu di Queensland. Kini mereka telah beranak pinak di seantero Australia. Bagaimana mungkin mereka bisa membunuh para buaya-buaya itu?"
Di dalam akuarium, Nana mendengarkan percakapan itu dengan seksama. ‘Apa itu Cane toad? Queensland? Amerika? Nama-nama apa itu?’ Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepala Nana. Ia pun semakin antusias memperhatikan dua makhluk besar yang tidak hidup di air itu.
"Sandra. Katak-katak ini mempunyai sistem pertahanan diri yang kompleks. Satu bulan penelitianku terhadap Cane toad, ternyata membuahkan fakta baru. Mereka berbeda dengan katak-katak jenis lain, sebab ada semacam kantung beracun yang tersembunyi di balik kaki depannya. Zat-zat mematikan yang kutemukan dalam sampel buaya itu sama dengan racun yang ada di dalam kantung katak itu," je-
las profesor panjang lebar.
Kenyataan itu membuat Sandra tercengang. Tampaknya ia tak menyangka bahwa katak-katak yang panjangnya bisa mencapai 20 cm itu adalah kunci penyebab ketidakstabilan ekosistem di sekitar hutan dan ladang tebu. Perlahan-lahan ia mulai bicara lagi, "Saya mengerti, Prof. Populasinya yang begitu pesat satu dekade terakhir, bahkan hingga ke daerah rawa di hutan, memang cukup membuat saya bertanya-tanya. Apakah tak ada predator yang mau menyantap katak-katak itu? Ternyata mereka mati sebelum berhasil memangsanya. Lalu, Prof, apa mereka berbahaya bagi manusia?"
Si kecebong masih serius memperhatikan mereka. Meskipun ia mendengarkan tiap kalimat percakapan itu, tapi tak sedikit pun ia memahami maknanya. Kapasitas memori pikirannya kecil, sekecil tubuhnya.
*****
Esoknya, Nana berharap agar Sandra datang lagi dan mengatakan hal-hal lain yang lebih mudah untuk dipahami olehnya. Ia menyukai Sandra sejak awal melihatnya. Sandra adalah orang pertama yang menyapanya --menyapa mereka tepatnya-- dengan mengobok-obok akuarium. Padahal, saat itu Sandra hanya berniat merendam kelingkingnya yang sedikit melepuh karena tercelup ke dalam secangkir kopi panas.
Ckrrk... Pintu terbuka, lalu melangkah seorang anak laki-laki kecil memakai seragam TK. Anak kecil itu mengendap-endap lirih di dalam laboratorium. Ia berhenti tiba-tiba di depan akuarium lalu berteriak, "Mak... Emak! Ada ikan kecil-kecil belenang, Mak! Banyak! Ada sejuta! Di sini mak!" Suaranya yang cempreng mengagetkan Nana dan membuat gaduh seisi rumah.
"Wah, suara itu menggetarkan dunia!" kata Nana kepada seekor ikan koi bersirip kuning yang berada di dekatnya. Akuarium adalah dunia baginya.
"Iya. Aku takut suaranya menimbulkan polusi di dunia kita," jawab ikan mas itu.
"Apa itu polusi?" tanya Nana dengan penuh penasaran.
Si ikan tampak bingung saat ditanya balik, lalu dia pun menjawab, "Hmm... Profesor berkata seperti itu 7 hari yang lalu saat memandang kotak kaca itu." Mata bulatnya melotot ke arah televisi.
"Aku hanya mengutip kata-katanya. Hehe..." imbuh si ikan.
"Tujuh hari lalu? Umurku saja baru enam hari. Kalau begitu kau lebih tua dariku. Berapa umurmu?"
Si ikan berenang berputar di tempat sebanyak tiga kali yang menandakan ia sedang berpikir. Lalu ia menjawab, "Aha... biar kutanyakan pada emakku."
"Emak? Apa itu emak? Manusia kecil itu juga menyebutkan emak tadi," tanya Nana membabi buta.
"Emak itu orang yang lebih tua darimu. Dia tahu segala hal yang tak kau ketahui," jawab si ikan.
"Kalau begitu kau emakku?"
"Aku? Entahlah. Sepertinya tampang kita berdua berbeda. Kau
begitu hitam legam dan mulus. Sedangkan aku, indah, berkilau tapi bersisik. Ah... sudahlah biar kutanya emakku yang ada di dunia seberang!" jawab ikan.
Lalu ia meninggalkan Nana menuju sebuah akuarium lebih besar yang berada di samping akuarium mereka. Nana terus mengawasinya hingga si ikan sampai di perbatasan "dunia" dan bertatap muka dengan seekor ikan mas koi super besar. Si ikan menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan ikan besar itu. Tak lama kemudian, si ikan koi kecil bersirip kuning pun berbalik dan menemui Nana.
"Sudah kudapatkan jawaban. Kata emakku, aku menetas saat bulan bulat sempurna dan nanti malam adalah bulan bulat sempurna keduaku. Jadi umurku adalah satu bulan. Hahaha!"
"Oh... Lalu kau siapa?" tanya Nana.
"Aku? Namaku Sybil kau Nana bukan? Dan satu lagi, aku bukanlah emakmu. Kata emakku, emakmu adalah orang yang melahirkanmu. Eit... Jangan bertanya soal emakmu lagi padaku!" kata ikan itu yang ternyata bernama Sybil seolah-olah bisa membaca pikiran Nana.
"Oh...Baiklah, Sybil. Lalu, mengapa emakmu ada di dunia yang lain?"
"Entahlah. Profesor memisahkan kami sesaat setelah aku menetas."
"Lalu..." kata-kata Nana terhenti setelah terdengar suara berisik menuju laboratorium. Pintu terbuka, lalu muncul profesor dan seorang manusia bertutup kepala panjang hingga terjuntai menutupi dada.
"Aduh... Elu ya, Dul! Udah emak bilangin ratusan kali tetep aje nakal! Jangan masuk ruangan Mister Propesor! Bagimane kalo ntu barang-barang pade pecah? Pan bisa berabe ntu urusanye! Maapin, anak aye yah, Mister!" kata manusia bertutup kepala itu sambil menaboki anaknya dengan lembut.
"Hahaha... Tidak apa-apa. Saya suka dengan anak kecil yang rasa ingin tahunya besar. Apalagi setiap melihat Abdul, saya jadi ingat anak saya" kata Profesor Keynes.
"Terime kasih, Mister. Mister kagak marah same ni Bedul yang ban-
del. Oh iye, aye do'ain semoge Mister bisa cepet ketemu anaknye di Australie. Amin... Ya udeh, kami ke dapur dulu, Mister, mau masak makan siang. Ayo, Dul!"
"Mpok, bagaimana kalau Abdul di sini saja dulu?" pinta profesor.
"Kagak ape-ape nih? Ntar kalo ganggu Mister bagimana?"
"Kagak ape-ape, Mpok! Haha..." jawab Profesor menirukan logat Mpok Ijah.
"Ah! Mister bise-bise aje! Ya udeh, aye turun. Permisi!"
Mpok Ijah keluar dari laboratorium. Pintu tertutup. Profesor mendekati Abdul, lalu berkata, "Dul, binatang ini namanya kecebong atau berudu, bukan ikan."
Abdul tampak mengerti, lalu ia bertanya, "Meleka saudalanya ikan, ya, Mistel?"
"Hahaha... No, son! Mereka adalah anak-anak katak. Kau tahu katak bukan?"
"Waaah... Kelen! Kok meleka tidak punya kaki?"
"Tentu saja mereka punya. Hanya saja belum tumbuh. Suatu saat nanti mereka akan bermetamorfosis menjadi katak dan hidup di darat. Kau mengerti, Nak?" tanya profesor.
Abdul mengangguk pelan. Tak jelas apakah ia mengerti atau tidak, tetapi yang pasti Nana lah yang sedang bergembira saat ini. Ia tahu siapa dirinya sekarang. Ia tahu leluhurnya. Ia adalah Putra sang Katak!
"Kau tahu Sybil? Aku adalah Putra Katak! Seperti apa katak itu, Sybil?" tanyanya. Belum sempat dijawab, dia sudah berkata lagi, "Eh... Katak? Hah?? Katak? Aku..." tiba-tiba ia berhenti bicara. Kegembiraannya meluntur seiring semakin pelan suaranya.
"Ada apa, Na?" tanya Sybil tampak heran.
"Aku anak seorang pembunuh!

(bersambung)

0 komentar: