CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 01 November 2009

DI LADANG TEBU (part 2)

"Sudahlah. Tak usah kau pikirkan. Wajahmu sama sekali tak menakutkan. Bahkan, kau tak memiliki sirip duri seperti yang kumiliki," kata Sybil pada suatu hari.
Nana sudah menceritakan tragedi kematian buaya di ladang tebu. Sejak ia tahu bahwa ia adalah anak seekor katak yang merupakan hewan pembunuh hewan lain, semangatnya mulai menurun. Profesor dan Sandra tak lagi penting baginya. Sybil yang telah mendedikasikan dirinya sendiri sebagai sahabat Nana lah yang selalu menghiburnya. Hubungan antara keduanya memang semakin dekat akhir-akhir ini.
"Ah... Sudahlah Sybil. Kata-katamu tak akan pernah membantu. Lebih baik kau pergi sebelum terbunuh seperti buaya-buaya itu!" usir Nana.
Sybil hanya diam. Bukan karena tak dengar atau tak mengerti, tapi karena ia melihat sesuatu. Matanya memelototi satu bagian tubuh Nana. Mulutnya terbuka, sampai-sampai lupa menutup.
"Na!Kau punya kaki!" teriaknya tiba-tiba. Lalu ia mengitari Nana untuk memastikan. "Yeah! Sepasang kaki belakang! Pantas saja beberapa hari ini kau bersikap aneh. Ternyata memang karena hendak tumbuh kaki. Haha... Keren!" celetuk Sybil setengah berteriak, sehingga membuat penghuni laboratorium kaget.
Kali ini Nana tak bisa lagi menghindar. Ada satu dorongan dalam tubuhya yang memaksanya tersenyum. Lalu ia berkata, "Dasar kau ikan! Hahaha... Tapi, apa itu mungkin? Aku marah-marah gara-gara mau tumbuh kaki? Coba ada emakku di sini, pasti dia sudah memberitahuku segala hal tentang kaumku."
Sybill tersadar dari kesenangan sesaatnya --merayakan tumbuhnya kaki Nana--, lalu menghampiri sahabat terkasihnya. "Sudahlah, Kawan. Kau tak butuh emakmu lagi. Ada aku dan semua saudaramu di sini. Benar kan teman-teman?" hibur Sybil lalu melirik pada penghuni akuariam lain memastikan apakah warga lain dalam akuarium berpendapat sama dengannya.
Namun, hanya beberapa ekor yang bilang "ya". Sedangkan yang lain menggumamkan kata-kata semacam: "Dasar sinting!"; "O, ya?"; "Aku tak ingat kalau aku bersaudara dengannya," atau "Siapa yang peduli? 'Cuz I don't care!"
"Oh! Jangan pedulikan mereka, Kawan. Kau pasti bisa hidup tanpa emakmu! Mereka hanya makhluk-makhluk berotak udang, bahkan lebih kecil dari otak udang. Hahaha...!" kata Sybil menanggapi keadaan.
"Sybil! Kau pikir otakmu sebesar kelapa? Enak saja kau menghna kami seperti itu!" bentak seekor ikan di belakangnya. Ternyata, tanpa ia sadari, ratusan makhluk air di sekelilingnya sedang memandangnya dengan wajah geram. Dalam hitungan detik seluruh makhluk air telah merubungnya dan mengeropoknya.
Nana hanya diam pasrah menyaksikan. "Rasakan tuh, Bil! Hehe..." batin Nana. Ia sudah hendak membantu Sybil, ketika pintu terbuka yang diikuti masuknya Profesor dan Sandra. Sandra tampak berbeda kali ini. Ia tidak memakai baju safari, sepatu boot hitam juga topi lebar bersimbol pohon seperti bisaanya. Baunya pun harum, tidak lagi amis campuran bau ikan, asap, tanah liat dan keringat. Polisi hutan ini telah berubah menjadi bidadari cantik yang memesona.
"Wah...wah... Penampilanmu tak seperti bisaanya, San? Mau ke mana kau?" tanya profesor kepada Sandra.
"Bisaa ke Bali, Prof. Aku sudah penat berada di hutan Australia sebulan ini. Apalagi dengan semakin banyaknya binatang yang mati. Mereka membuatku stres," jawab Sandra.
"Oh iya! Sekarang aku sudah yakin mengenai katak beracun Cane toad itu. Mereka sangat berbahaya bagi makhluk hidup, tak terkecuali manusia," kata profesor mulai serius.
Sandra kaget. Tas kecil yang ia selempangkan di bahunya melorot hingga ke siku. "Lalu, bagaimana cara kita membunuh mereka agar bukan malah kita yang terbunuh, Prof?" tanya Sandra. Suaranya meninggi. Wajahnya memerah. Suhu di laboratorium serasa naik drastis. Padahal langit Bogor sedang mendung saat itu.
"Seharusnya hal ini sudah kita sadari sejak lama. Toh, katak-katak itu tak bisa melompat setinggi batang tebu untuk menangkap kumbang yang justru sering hinggap di ujung batang. Aku sungguh menyesalkan kelalaianku ini! BETAPA BODOHNYA AKU!" kata Sandra. Kali ini ia tak lupa menggebrak meja kerja profesor. Kertas-kertas berhamburan akibat ulah Sandra. Namun, profesor Keynes sama sekali tidak berusaha mengambilinya. Ia hanya diam tanpa ekspresi.
Sedangkan Nana, ia tak berkedip menyaksikan peristiwa itu. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa Sybil sudah lolos dari lingkaran penghajaran dan sekarang berada di sampingnya dengan tubuh babak belur. Beberapa sisiknya terkelupas. Tampaknya ia tak akan berani berbicara sembarangan lagi.
Sandra masih diliputi amarah. Namun, rona merah di wajahnya berangsur mulai memudar sekarang. Tangannya kembalai santai dan ia membetulkan tas tangannya yang melorot. “Maaf, Profesor!” katanya pelan.
Profesor tak lagi diam saja. Ia malah tersenyum, lalu perlahan tertawa kepada Sandra. Sandra justru bingung melihatnya. Ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, pasti kurang lebih seperti maksudnya.
“Ternyata kau bisa marah juga, San? Hahahaha…” kata profesor.
“Apa maksudmu, Prfof??! Jangan bercanda!” katanya setengah berteriak. Namun, jelas terlukis sesimpul senyum kecil di sudut bibirnya. Ia malu pada profesor, sebab mukanya kembali memerah.
Profesor mengerem tawanya denan susah payah, lalu berkata, “Aku belum selesai bicara, San. Hahaha… katak itu hanya berbahaya bagi manusia jika terjadi kontak fisik saja. Tentu saja tak kan berakibat apa-apa jika kau membunuhnya dengan alat. Dasar, Sandra! Dari dulu kau memang tak berubah.”
Bagai turun hujan di tengah gurun Sahara. Itulah yang melanda Sandra kini. Kemarahan dan penyesalannya seperti terbawa arus sungai Nil dan tak menyisakannya sedikit pun. Ia merangkul profesor seperti merangkul ayahnya sendiri. Lalu ia pun berlari meninggalkan laboratorium dengan gembira tak lupa disertai lambaian tangan untuk profesor.
“Hahaha… dasar Kanguru mungil!” gumam profesor.
Baru beberapa detik, Sandra kembali lagi ke dalam laboratorium. Ia ingin menyampaikan sesuatu yang tadi terlupa karena saking shocknya.
“Prof, aku titip tas ini di sini. Satu minggu lagi aku akan mengambilnya sepulang dari Bali. Aku akan menghubungi pemerintah Australia mengenai penemuan itu. Oh iya, Prof, apa kau punya usul tentang cara membunuh katak-katak itu?”
Profesor mengacungkan jempol berdiri, Lalu Sandra pergi dengan senyuman.
*****
Mentari pagi mengintip melalui lubang-lubang ventilasi laboratorium dan membagikan sinarnya ke seluruh organisme di dalamnya. Tempat itu menghangat hampir satu jam setiap harinya. Di saat seperti inilah para keluarga kaktus, ercis, aster, kumbang kayu jati, ikan tak terkecuali kecebog dan makhluk hidup lainnya asyik menjemur diri di dalam tempat hidup masing-masing. Laboratorium itu sangat besar dan mungkin lebih terlihat seperti taman wisata modern mini di dalam gedung.
Di setiap jengkal hamparan lantainya pasti terdapat organisme hidup yang terawat dengan baik. Pada sudut kanan ruangan, terdapat sekumpulan akuarium berbagai ukuran untuk berbagai hewan air tawar. Di sanalah Nana dan Sybil berada.
“Kau tahu Sybil? Setelah aku mendengarkan percakapan demi per-cakapan antara nona Sandra dan professor, aku semakin yakin bahwa tempat asalku adalah dari Aus… Australia yang berada entah di mana. Mereka telah menyebutkan tempat itu sebanyak…. banyak sekali,” kata Nana. Ia tidak bisa menghitung seperti halnya Sybil, kawannya.
“Apa kau yakin? Memang aku tak pernah melihat katak dan anaknya. Dan kata emakku, memang baru sekali ini profesor memelihara kecebong di laboratorium ini. Namun, bagaimana kalau ternyata pendapatmu salah?” jawab Sybil ada sedikit rasa cemas dalam nada suaranya. Sybil memang sudah sangat bosan menasehati Nana mengenai perkara ini.
“Kawan, do’akanlah aku. Aku akan ke Australia, bagaimanapun caranya,” katanya dengan wajah penuh semangat dan mata berapi-api.
“Ya…ya…ya… terserah kau saja lah, Na! Do’aku merestuimu!”
*****
“Halo! Sandra? Ini aku, Profesor Keynes. Aku sudah menemukan waktu pemberantasan Cane toad yang tepat. Sebentar lagi bulan mati, di malam-malam seperti inilah mereka membentuk semacam kumpulan katak jantan dan katak betina untuk kawin. Kurang lebih lima hari lagi. Maka, lusa pulanglah ke Bogor untuk mempersiakan segala hal! Oh iya, satu lagi, dibutuhkan banyak orang untuk melakukannya. Jumlah mereka ribuan!” kata profesor kepada Sandra melalu sambungan telepon.
“Lusa? Sempurna! Lusa, aku sudah berubah menjadi seekor katak. Katak jantan yang gagah! Dan aku akan ke Australia menemui emakku. Meski dia pembunuh sekali pun!” kata Nana pada Sybil. Sybil hanya bisa menggelengkan kepala. Ia benar-benar sudah pasrah, meski sebenarnya dia ingin sekali mencegah Nana demi keselamatan diri Nana sendiri.
*****
Subuh hari, Nana sudah bersiap melakukakan rencana ekspedisi pencarian emaknya. Ia benar-benar sudah berubah menjadi katak kecil --yang oleh Abdul dipanggil “Percil”—berwarna hijau lumut dengan garis hitam. Nana berpamitan kepada seluruh kawan sejawatnya selama hidup di laboratorium dan ia tak lagi bisa menahan air matanya saat harus berpisah dari Sybil. ‘Namun, mau tak mau ia telah memilih takdir hidupnya’ begitulah yang diucapkan emak Sybil kapada Sybil, sehingga membuat Sybil tegar melepas Nana.
Sandra sudah sampai di laboratorium. Lalu, dengan cekatan Nana melompat keluar akuarium. Setelah berhasil, ia langsung melompat menuju tas ransel Sandra yang dititipkannya kepada profesor semingu lalu sebelum berangkat ke Bali. Ia menyelinap ke dalam kantong paling luar yang biasanya digunakan sebagai tempat botol minum dan akan terus bersembunyi di sana hingga sampai di Australia.
“Hai, Prof! Di mana tas titipanku?” tanya Sandra.
“Oh iya, ambil saja di situ,” jawab profesor sambil menunjuk sebuah rak barang. Sandra segera mengambilnya lalu menggendongnya di punggung. ‘Wah! Hangat’ batin Nana. Saking hangtnya suhu dalam tas itu, membuat Nana mengantuk lalu tertidur dalam beberapa menit.
“Prof, bagaimana rencananya?” tanya Sandra lagi.
“Jadi begini. Adakanlah suatu festival perburuan katak beracun di ladang tebu. Ah namanya…. “Toad Day Out”. Cool bukan? Lalu, sediakan imbalan yang menggiurkan bagi mereka yang berhasil menangkap katak terbanyak dan terberat, baik hidup maupun mati. Sehingga akan banyak orang yang tertarik mengikuti perburuan ini. Jangan lupa ingatkan mereka agar tidak menyentuh bagian tubuh katak tersebut sedikit pun! Apa kau paham?” jelas profesor.
“Rencana brilian! Tentu aku paham, Prof! Kalau begitu aku pergi dulu. Dua malam lagi, ladang dan hutan akan bebas bencana. Thank’s God! Bye, Prof. Tunggulah kabar baik dari kami,” kata Sandra begitu ceria lalu ia pun bergegas pergi menuju bandara untuk segera terbang ke Queensland.
Tanpa Sandra dan Profesor sadari, di dalam air ada makhluk lain yang mengetahui rencana itu. Ia kini sedang manangis sendu, memikirkan nasib sahabatnya yang sedang mendatangi pertempuran mautnya. Ialah Sybil.
*****
“Oh aku sampai di ladang tebu Australia! Luas! Luas sekali! Tidak seperti duniaku di laboratorium. Sempit dan berair! Aku datang, Emak!” teriak Nana sesampainya di ladang.
Ia melompat ke sana ke mari berusaha mencari spesiesnya dengan hati bahagia. Baru satu menit ia mencari, ia sudah bertemu dengan seeokor katak berwarna coklat gelap dan bergaris merah. Ia begitu tampak lucu. Lalu Nana pun bertanya kepadanya, “Hai, kau pasti saudaraku! Apa kau Cane toad? Aku juga! Aku terpisah dari kalian saat aku masih telur.”
Katak itu tampak heran sekali, lalu berkata, “Apa kau bercanda, Nak? Kau hanya seekor katak sawah! Kau berbeda dengan kami! Pulang sana ke Ibumu!”
*****
Serbuan para manusia ladang itu benar-benar dahsyat. Satu per satu katak dilibas, dihantam dan ditebas dengan senjata mereka. Dalam waktu sebentar mereka sudah mengisi kantung-kantung dengan bangkai-bangakai katak beracun. Ladang tebu adalah saksi bisu pertempuran ratusan ribu katak melawan ratusan manusia pemburu.
Nana berada di waktu dan tempat yang benar-benar tidak tepat. Sebuah bumerang mendarat di kepalanya dan membuatnya tersungkur. Malam terang berhias bintang kerlap dan bulan malam ke-13 perlahan berputar, lalumakin gelap, sangat gelap dan “pett!!!”


FIN

0 komentar: